logo

Supa AI

Latent Space

Back

BPS Geger! Indonesia Belum Adopsi Standar Kemiskinan Ekstrem Bank Dunia 2025, Ini Alasannya!

Curated by Supa AI

đź’° Economy
Source 1
Source 2
Source 3
+1
4 Sources
Last updated 1 d ago
BPS Geger! Indonesia Belum Adopsi Standar Kemiskinan Ekstrem Bank Dunia 2025, Ini Alasannya!

Ringkasan

  • Badan Pusat Statistik (BPS) memutuskan untuk belum mengadopsi standar terbaru Bank Dunia dalam penghitungan kemiskinan ekstrem di Indonesia per Maret 2025.
  • Standar terbaru Bank Dunia menggunakan purchasing power parity (PPP) 2021 dengan nilai US$3,00 per kapita per hari, berbeda dengan standar sebelumnya US$2,15 (PPP 2017) yang masih digunakan BPS.
  • Alasan utama di balik keputusan ini adalah karena Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2025-2029 masih mengacu pada standar PPP 2017, dan Bank Dunia baru merilis standar baru tersebut pada Juni 2025.
  • Deputi Bidang Statistik Sosial BPS, Ateng Hartono, menegaskan bahwa penggunaan standar lama ini bertujuan untuk menjaga kesinambungan evaluasi program pengentasan kemiskinan.
  • Meskipun belum mengadopsi PPP 2021, BPS telah menyempurnakan metodologi penghitungan, termasuk penggunaan spatial deflator yang mencerminkan perbedaan harga antarwilayah hingga tingkat kabupaten/kota.
  • Pada Maret 2025, berdasarkan standar US$2,15 (PPP 2017), jumlah penduduk miskin ekstrem Indonesia tercatat 0,85 persen atau 2,38 juta orang.
  • Angka ini menunjukkan penurunan signifikan dibandingkan September 2024 (0,99 persen atau 2,78 juta orang) dan Maret 2024 (1,26 persen atau 3,56 juta orang).
  • Data kemiskinan ekstrem Maret 2024 yang sebelumnya dirilis 0,83 persen menggunakan garis kemiskinan lama (1,9 dolar AS PPP 2011), namun setelah disesuaikan dengan PPP 2017, angkanya menjadi 1,26 persen.
  • Rilis data ini sejalan dengan Instruksi Presiden (Inpres) Nomor 8 Tahun 2025 tentang Optimalisasi Pengentasan Kemiskinan Ekstrem, di mana BPS bertugas melakukan survei dan penghitungan capaian program.
  • Sumber data utama yang digunakan adalah Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas) Maret 2025, yang dilakukan pada Februari 2025 untuk menghindari distorsi pola konsumsi selama Ramadhan, mencakup 345 ribu rumah tangga di 38 provinsi dan 514 kabupaten/kota.

Timeline

Juni 2025
Bank Dunia merilis revisi standar garis kemiskinan internasional dari US$2,15 (PPP 2017) menjadi US$3,00 (PPP 2021) per hari.
Februari 2025
Pendataan Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas) Konsumsi dan Pengeluaran Maret 2025 dilakukan, menghindari distorsi pola konsumsi selama Ramadhan.
Maret 2025
BPS merilis data kemiskinan ekstrem Indonesia, tercatat sebesar 0,85 persen atau 2,38 juta orang menggunakan standar lama Bank Dunia (US$2,15 PPP 2017).
Maret 2024
Tingkat kemiskinan ekstrem Indonesia tercatat 1,26 persen atau 3,56 juta orang (disesuaikan dengan PPP 2017).
September 2024
Tingkat kemiskinan ekstrem Indonesia tercatat 0,99 persen atau 2,78 juta orang (menggunakan PPP 2017).
25 Juli 2025
Deputi Bidang Statistik Sosial BPS Ateng Hartono menjelaskan alasan belum mengadopsi standar baru Bank Dunia dalam penghitungan kemiskinan ekstrem.

Fact Check

BPS belum mengadopsi standar terbaru Bank Dunia (US$3,00 PPP 2021) untuk penghitungan kemiskinan ekstrem per Maret 2025.

Semua sumber mengkonfirmasi bahwa BPS masih menggunakan standar lama karena RPJMN dan faktor waktu rilis Bank Dunia.

Alasan BPS belum mengadopsi standar baru Bank Dunia adalah karena Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2025-2029 masih mengacu pada standar lama (US$2,15 PPP 2017) dan Bank Dunia baru merilis standar baru pada Juni lalu.

Konsisten di semua sumber, Deputi Bidang Statistik Sosial BPS Ateng Hartono menyatakan alasan ini.

Pada Maret 2025, jumlah penduduk miskin ekstrem Indonesia yang mengacu pada standar Bank Dunia (US$2,15 PPP 2017) tercatat sebesar 0,85% atau 2,38 juta orang.

Angka dan persentase ini konsisten di semua sumber yang merujuk pada rilis BPS.

BPS telah menyempurnakan metodologi penghitungan kemiskinan ekstrem dengan menggunakan spatial deflator, meskipun belum mengadopsi PPP 2021.

Deputi BPS dan Direktur Statistik Ketahanan Sosial BPS mengkonfirmasi penyempurnaan metodologi ini.